Konsep dan Pandangan Tentang Kepemimpinan dalam Buddha dan Hindu

Print Friendly and PDF 0 Viewers
Konsep dan Pandangan Tentang Kepemimpinan dalam Buddha dan Hindu - Untuk mengetahui sejauh mana sosok kepemimpinan yang harus kita pilih, maka berbagai konsep dan pandangan di bawah ini akan menjawab pertanyaan mengenai kepemimpinan (leadership).


Kepemimpinan dalam Pandangan Buddha

Sang Buddha Gautama dalam Tripitaka. Dalam sejarahnya Sang Buddha memisahkan antara politik dan agama, karena itu dia meninggalkan kerajaan dan berupaya menjadi orang suci.

Dalam ajaran Buddha, sebelum diangkat menjadi “Nabi” (The prophet) dan menerima petunjuk dari Yang Maha Esa, Sang Buddha adalah aparat pemerintah (pemimpin), karena dia adalah putra mahkota yang berhak mewarisi tahta kerajaan Kapilavastu di sebelah Utara India. Jadi Sang Buddha sangat dekat sebelumnya dengan segala macam persoalan pemerintahan dan kepemimpinan, administrasi negara, hukum tata negara dan politik

Oleh karena itu, sudah barang tentu sabda-sabda Sang Buddha akan berorientasi di sekitar etika politik saja. Bagi Sang Buddha kehidupan manusia, terutama para pemimpin, itu pada dasarnya tidaklah bahagia. Penyebab ketidak bahagiaan itu adalah karena manusia itu sendiri hanya memikirkan kepentingan dirinya sendiri serta terbelenggu nafsu. Namun demikian pemikiran kepentingan diri sendiri dan nafsu dapat ditekan semaksimal mungkin dengan cara yaitu nafsu dan hasrat keinginan tersebut dileburkan.

Oleh karena itu menurut Sang Buddha Gautama seorang pemimpin atau aparat pemerintahan hendaklah bersikap:
  1. Menyiapkan pidato di hadapan masyarakat harus benar, tidak memanipulasi fakta.
  2. Perbuatan dalam penyelenggaraan politik negara harus benar, tidak mempersulit rakyat.
  3. Berfikir memutuskan segala kendala yang dihadapi harus sesuai dengan aturan yang telah ditetapkan demi kepentingan dan kemaslahatan umat manusia, tidak menyelewengkan sesuai pikiran dan keinginan pribadi yang subyektif.
  4.  Menimbangkan segala sesuatu harus dengan pandangan yang benar, terutama dalam pengambilan keputusan pemerintahan, dan tidak dengan tergesa-gesa.
  5.  Mencari nafkah (bermata pencaharian) baik sebagai aparat pemerintah yang mengharapkan gaji maupun sebagai masyarakat biasa dengan aneka ragam penghasilan harus benar, tidak korupsi atau mencuri milik orang lain.
  6. Berupaya untuk memperoleh sesuatu harus dengan jalan yang benar dan dicintai oleh Yang Maha Esa, tidak dengan jalan menghalalkan segala cara yang dilalui dengan brutal serta kekerasa yang memaksakan kehendak kepada pihak atau orang lain.
  7. Mengingat rakyat yang dipimpin harus dengan perhatian yang benar, tidak menyalahgunakan wewenang kepemimpinan pemerintahan.
  8.  Metidasi menyatukan diri dengan Yang Maha Esa harus benar-benar dapat mencontoh keteraturan tubuh (pernafasan dan aliran darah), tidak tergoda oleh segala sesuatu yang bersifat keduniawian.
Begitulah pesan Sang Buddha Gautama kepada umatnya mengenai sikap dari seorang pemimpin.


Kepemimpinan dalam Pandangan Hindu

Sri Kresna (Sang Wisynu) dalam Bhagawat Gita. Dalam agama Hindu, sistem dan etika seorang pemimpin dan pemerintahan dicontohkan dalam kisah episode besar Ramayana dan Mahabarata. Dalam Ramayana Sang Wisnu menitis ke dalam tubuh ekaristi raja yaitu Sri Rama, yang bertempur melawan keangkara-murkaan Rahwana (Dasamuka). Pedoman-pedoman tentang sistem kepemimpinan dan pemerintahan yang beretika dan bermoral disampaikan dalam nasihat-nasihat Sri Rama, baik kepada adik tirinya Bharata maupun kepada adik musuhnya Prabu Gunawan Wibiksana.

Namun dalam kisah Mahabarata, Sang Wisynu yang merintis kedalam tubuh ekaristi Sri Kresna hanya menjadi wasit (arbiter) dalam Perang Besar Bharata Yudha. Sedangkan perpanjangan tangan melakukan tugas-tugas keduniawian termasuk politik pemerintahan, dilaksanakan oleh adik iparnya sendiri yaitu Adipati Raden Harjuna. Dengan demikian ditakdirkan lahirnya bukit Kurusetra, yang isinya antara lain juga tentang keberadaan etika seorang pemimpin atau aparat pemerintahan.


Antara lain, Bhagawad Gita menitahkan bahwa bekerja sebagai aparat pemerintahan adalah mempersembahkan karya kepada Sang Hyang Tunggal, tanpa motivasi keinginan apa-apa, tidak terjamah oleh dosa, bagai air meluncur di daun teratai.

Sumber :
http://www.iseng-iseng.tk/
http://brebes-punya.blogspot.com

Baca Juga ya


BAGIKAN
Previous
Next Post »
0 Komentar